SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA Kuli Tinta Ngeblog: Kisah Ilham Firman alias Katiran

Rabu, 25 Maret 2009

Kisah Ilham Firman alias Katiran

Kalimat Itu Menggelayut di Pikiranku


Saya lahir di Banyuwangi, 14 Maret 1967 silam dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ketika umur saya sekitar empat atau lima tahunan keluarga kami terlilit ekonomi. Karena kondisi ekonomi kami inilah, akhirnya keluarga saya memutuskan agar saya harus mengikuti ibadah setiap hari minggu di gereja. Karena jika ibadah di gereja akan diberikan sembako.

Namun sampai kelas 4 SD saya baru menyadari bahwa diri saya beragama Hindu. Maka mulailah pada saat itu saya berhenti untuk tidak mengikuti ibadah minggu itu. Ketika itu saya kecewa dengan diri saya dan juga dengan keluarga saya yang telah menanamkan agama ketolik yang sebenarnya bukan kepercayaan saya.

Akhirnya saya pun memutuskan untuk selalu aktif dalam setiap kegiatan agama saya. Apalagi saat saya aktif dalam Pemuda Nayaka Hindu, sejak itulah saya sering dimintai untuk memimpin ibadah. Bahkan setiap perlombaan membaca mantra tri sandiya saya selalu meraih juara 1, baik saat saya mengikuti tingkat dewasa maupun masih pada tingkat anak-anak. Memang pada saat itu, keluarga saya dikenal selalu menjuarai lomba tri sandiya.

Saat SMA seringkali jika guru agama Hindu tidak masuk, teman-teman mempercayakan saya untuk menggantikan guru tersebut. Bahkan saya mempunyai jadwal khsusus untuk hari Minggu mengajari teman-teman pelajaran agama Hindu.

Atas kemampuan saya ini, pada tahun 1985, teman-teman yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Agama Hindu (IPPMAH) mempercayakan saya sebagai Ketua Umum. Padahal, menurut saya ada begitu banyak pemuda, pelajar dan bahkan mahasiswa yang cerdas saat itu. Tapi mungkin karena saya sejak kecil ditanamkan agama Hindu dan mendapat kepercayaan dari pemimpin Hindu di sana, maka saya menduduki jabatan itu. Dari tahun 1981 saya memang tinggal di rumah Tokoh Hindu saat itu. Jadi pengalaman dan pelajaran tentang agama ini menjadi konsumsi saya sehari-harinya.

Dari situlah saya terus bersamangat untuk aktif menjadi aktivis Hindu. Setiap kegiatan keagamaan selalu antusias dan saya lakukan tanpa pamrih. Bisa dikata saya saat itu sangat fanatic dengan agama saya ini.

Namun pada tahun 1987, ketika saya berpindah kediaman, dari rumah tokoh Hindu ke rumah salah satu Tokoh Katolik, entah apa yang terjadi dengan saya. Keaktifan saya di Pura dan organisasi mengendur. Semangat untuk belajar agamapun sudah tak ada. Mantra-mantra juga seakan terlupakan begitusaja diingatan saya.

Sejak saat itu, saya ditimpa halusinasi yang sangat aneh. Api yang sangat membara seakan mengepul tinggi di dalam kamar saya. Berrhari-hari saya menghabiskan waktu di kamar. Saya ingin berteriak, walau hanya dalam hati, apa yang terjadi dengan saya. Kapala saya pening dan panas. Panas sekali. Tubuh saya pun seakan terbakar dengan bara api itu.

Jiwa saya tak tenang. Teman-teman saya pun heran melihat tingkah saya seperti orang kepanasan. Ketika saya tanyakan ke mereka apakah mereka melihat bara api di kamar itu? Jawaban mereka semua sama, tidak!. Kurang lebih dua pekan saya mengalami hal itu. Hingga suatu malam, sebuah kalimat yang tak kukenal menggelayut di pelupuk mataku, serta bertengger diotakku. Kalimat itu adalah Subhanallah (tutur Katiran getir dan meneteskan air mata). Pada malam berikutnya bermunculan lagi di otakku kalimat Alhamdulillah. Saya semakin bertanya apa maksud dari kalimat aneh ini? Sampai pada malam ketiga, kalimat Allah Akbar.

Pada malam berikutnya semua kalimat itu sudah bersamaan muncul diingatanku. Kalimat ini selalu terngiang di tiap-tiap detiknya. Batinku ingin berontak. Kalimat apakah ini?


Kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar, kalimat apakah itu? Dalam kondisi yang telah membaik, tak dihantui lagi oleh bara api, saya terus menenangkan pikiranku sembari mencari apa arti dari peristiwa ini?

Dalam kondisiku yang telah melupakan mantera-mantera agama saya. Saya akhirnya menemukan rahasia dari kalimat itu. Kebetulan se rumah dengan ku juga terdapat teman yang beragama Islam. Namun selama itu saya jarang berkomnikasi dengan meraka, karena memang komunitasku sehari-hari adalah masyarakat hindu.

Mulai kuperhatikan teman itu. Entah hati saya berkata lain, dari gerakan itu saya melihat sangat indah, betul-betul sangat indah. Mungkin dari dialah kutemukan apa arti dari keganjilan yang telah menimpa saya. Kuperhatikan ia diam-diam, dan ternyata ada kalimat itu, ya kalimat itu. Saat ia mengucapkan Allahuakbar sambil mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Tak sampai disitu, rasa penasaranku semakin bergejolak adakah dua kalimat lainnya.

Usai shalat, teman muslim tersebut mengucapkan Subhannallah, Alhamdulillah, dan Allahuakbar sambil memilintir butiran-butiran semacam gelang (tasbih) di tangannya. Saya perhatikan lagi, benar saja, itulah kalimat yang selama ini kucari. Saya lesuh. Jiwaku tertunduk dan pilu. Hatiku lebam, dihajar oleh kesalahan yang amat besar selama ini.

Namun, di sisi lain tertancap kemantapan iman, bahwa saya adalah hamba Allah SWT, tuhan semesta alam, Tuhan bagi orang-orang yang selamat di akhirat nanti. Tuhan yang mempunyai Rasul bernama Muhammad. Ya itulah Tuhanku.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru sya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjuarai kelas.

Di tengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru saya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjadi juara kelas.

Masyarakat banyak yang mengucilkan saya. Namun saya tidak peduli. Karena saya yakin keanehan-keanehan itu adalah petunjuk bagi saya. Karena dengan itu pula saya yakin betapa Allah menyayangi saya. Maka tidak pantas jika saya telah menemukan Hidayah dan merasa bahwa Allah menunjukkan kasih sayangnya lantas saya campakan.

Ditengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Ketika tamat SMA pada tahun 1988, saya memutuskan untuk kuliyah di Universitas Tadulako. Sekaligus, saya akan bersua dengan keluaragaku di Sausu. Tapi untuk mengaku bahwa saat itu saya sudah muslim, saya tak berani.

Sepandai-pandainya menyimpan terasi, pasti akan tercium juga. Bermula, saat kecurigaan keluarga setiap menjelang waktu shalat, saya tak tampak. Ketika ditanyakan kenaoa setiap waktu-waktu tertentu saya tidak ada. Akhirnya, setelah berbulan-bulan saya sembunyikan akhirnya saya mengaku, karena saya juga tak mau bebohong dengan orang tua. Saya katakan sejujurnya, bahwa saya sekarang telah Muslim. Keluarga kaget bukan kepalang.

Mendengar pengakuanku, keluarga saya hampir depresi. Namun saya coba berdialog baik-baik. Saya tidak mau ada percekcokkan apalagi disebabkan agama yang mulia ini. Dalam hati terpendam perasaan saya ingin menyelamatkan keluargaku dari kesalahan itu.

Alhamdulillah, walau pada awalnya mereka sangat menentang, tapi pada akhirnya, dengan sedikit pengetahuan saya tentang Islam saya selalu mengajak mereka berdiskusi dan suasana akhirnya seperti biasa. Namun saya tidak menyerah karena Allah mengatakan, Jagalah keluargamu dari api nereka.

Logika agama Islam ternyata diterima oleh mereka. Alhamdulillah, sebuah karunia sangat besar yang pernah kunikmati yaitu, tepat pada 1 Oktober 1988, saya menyaksikan keluargaku masuk Islam di salah satu Mesjid di Desa Sausu, kecuali salah satu kakakku. Alhamdulillah kini keluargaku, bisa dibilang sangat Islami.

Sementara itu, saat saya datang ke Palu, ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dengan Islam, yaitu Alkhairaat-nya. Kemudian saya mempelajari Apa itu Alkhairaat dan bagaimana Alkhairaat? Setelah saya pelajari, terpatrilah hatiku dengan Alkhairaat.

Tak puas saya dengan Hidayah pada Keluargaku, sayapun berinisiatif menyebarkan ajaran Alkhairaat di Sausu Trans. Bersama salah satu Tokoh Islam, Zaenal Arifin, dan seorang Mualaf Sudirman pada tahun 1990, setiap hari Jum’at kami menggelar pengajian, yang diisi oleh Alamarhum Ustad Saleh Gamar, Tokoh Alkhairaat Parigi. Alahmdulillah, dengan itu Alkhairaat berkembang di Sausu Trans.

Kini saya juga mengabdikan diri di Alkhairaat. Sekarang saya mengajar di SMA Alkhairaat Desa Kalukubula, Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi.

(Dituturkan Ilham Firman Alias Katiran Kepada Wartawan MAL, Nurdiansyah)

Tidak ada komentar:

TERIMAKASIH TELAH MEMBACA BLOG SAYA