SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA Kuli Tinta Ngeblog

Jumat, 27 Maret 2009

Saatnya “Bintang Timur” Jadi Pahlawan

Sayyed Idrus bin Salim Aljufri atau yang lebih dikenal dengan sapaan Guru Tua, adalah sosok yang paripurna di jagad Indonesia Timur. Namanya harum membentang ke seluruh Indonesia hingga di luar kepulauan Nusantara ini.
Semangatnya besar, menebarkan Islam ke sudut-sudut daerah hingga ke daerah yang tak terjamak. Ia susuri wilayah-wilayah yang terjal dan beronak hanya untuk menjadikan umat beraqidah dan berilmu. Akhirnya, wilayah yang disusuri pun jauh sangat merasakan hasil perjuangannya.
Andai dirunut lebih jauh, tak terhitung jasa-jasanya, baik dalam penanaman prinsip kemasyarakatan maupun kebangsaan. Ia juga disebut sebagai Bintang Timur dari Indonesia. Olehnya, Muslim Indonesia timur sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Guru Tua. Dia adalah Insiprasi, dia adalah semangat dan dia adalah pahlawan.
Kini perjuangannya akan dihargai setinggi-tingginya. Paling tidak dengan menajadikan dirinya sebagai Pahlawan dipandang dari pendekatan politik, atau Pahlawan Nasional. Jadi bukan lagi sudut pandang budaya, sejarah, atau dakwah.
Olehnya, telah banyak yang menghargai jasanya, puja-puji yang disebut oleh Birokrasi pemerintah setiap moment kealkhairatan bukan lagi omong kosong belaka. Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid misalnya, ia menghubungi langsung Menteri Kesejahteraan Sosial, Bachtiar Hamsyah untuk menjadikan Guru Tua sebagai Pahlawan.
Sementara, di Indonesia Timur, daerah pengorbanan Sayyed Idrus bin Salim Aljufri, disuarakan dengan Istiqamah oleh tokoh-tokoh Daerah. Gubernur misalnya, mengajukan surat rekomendasi, dengan Nomor: 464.1/238/Dinsos kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial, 14 Juni 2008 lalu. Disusul rekomendasi dari Universitas Alkhairaat, dengan nomor surat: 206/0.14/UA/VI/2008.
Namun sebelum itu, 16 Juni 2008, perguruan tinggi terbesar di Sulteng, Universitas Tadulako juga turut merekomendasikan Sis Aljufri sebagai Pahlawan Nasional, dengan nomor surat, 2976/H28/LL/2008. Begitupun sebuah lembaga adat dari banggai, yang mengatasanamakan, Lembaga Musayawarah Adat Banggai, dengan pimpinan Muhammad Chair Amin juga mengajukan surat rekomendasi usulan pengukuhan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional. Disusul juga beberapa pernyataan dari berbagai kelompok di Sulteng.
Olehnya akhir tahun lalu, dilakukanlah seminar Pengenalan Profil Guru Tua, di Hotel Palu Golden. Seminar ini adalah merupakan salah satu pra syarat untuk merekomnedasikan seorang pahlwan Nasional. Mulailah darisitu pewacanaan kepahlwanan Guru Tua berkembang.
Pada akhir tahun lalu juga Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulwesi Tengah, Sutrisno Sembiring, mendatanhi Direktorat Jenderal Bina Kesejhateraan Sosial, untuk mengajukan perekomendasian Sulteng.
“Saya ketemu langsung dengan pak Gunawan, Dirjend Bina Kesejhateraan Sosial. Tapi kata beliau, Guru Tua masih terkendala pada status kewarganegaraan. Namun saya katakana kepada Pak Gunawan. Tokoh terdahulu yang dating ke Indonesia, berbeda dengan saat ini. Karena mereka merasa diri telah menjadi warga Negara ini. Itupun dahulu Indonesia belum menjadi nama Negara,” kata Sutrisno, Jum’at kemarin.
Sementara itu, Kepala Seksi Pelestarian Nilai Kepahlawanan dan Pemberdayaan Keluarga, Tahan Hj Abdul Djalil mengatakan, bahwa alasan Dirjend tersebut telah clear, kini status kewarganegraan Guru Tua tidak dipermasalahkan.
“Sebab Guru Tua adalah pejuang pendidikan dan dakwah yang ada sebelum kemerdekaaan,” kata Tahan kepada Media Alkhairaat, Jum’at kemarin di ruangannya.
Sementara untuk syarat seseorang untuk dijadikan Pahlawan kata Tahan, selain ia WNI, yaitu telah meninggal. Kemudian pengusulannya diajukan secara tertulis, dengan surat Gubernur Kepala Daerah selaku Ketua Bandan Pembina Pahlwan Daerah disertai Surat Rekomendasi Gubernur selaku ketua Badan Pembina Pahlawan Daerah, Mempunyai tanda penghargaan yang telah diberikan oleh pemerintah.
Selanjutnya, pendapat-pendapat dari orang terkemuka, tokoh masyarakat baik positif dan negative. Foto atau gambar yang menunjukkan tentang bukti-bukti perjuangan yang telah dilakukan. Kemudian riwayat hidup calon pahlwann dan riwayat perjuangan, serta keterangan-ketarangan lainnya.
Tahan mengatakan, saat ini pihaknya masih sementara mengumpulkan buku-buku tentang Tokoh Guru Tua. Dari hasil pengumpulannya masih dua buku yang berhasil didapatkannya, yaitu buku Modernis Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969), tulisan HM Noor Sulaeman Pettalongi dan buku Sang Bintang dari Timur, Sayyed Idrus bin Salim Aljufri Sosok Ulama Sastra, oleh Dr H Achmad Bacchmid.
“Selain itu, salah satu penghargaan kepada guru sebagai Pahlwan pembanguna pendidikan, tokoh perintis kemerdekaan RI. Sang tokoh kedaulatan Alkhlakul Karimah dari Sulteng. Dari masyarakat Sulteng,” kata Tahan lagi.
Sedangkan untuk kriteria kepahlawanan nasional adalah, berkepribadian dan berakhlak baik serta tidak ternoda. Selanjutnya percaya diri sendiri, berani dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia juga mempunyai cita-cita tinggi untuk kemajuan bangsa, Negara rela berkorban untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kriteria lainnya, melakukan dan memimpin perjuangan bersenjata, perjuanagn politik atau perjuangan bentuk lain untuk mencapai, mewujudkanm mempertahankan kemrdekaan dan persatuan bangsa. Kemudian melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang menujang pembangunan bansa dan Negara. Dan juga menghasilkan kraya mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat luas atau meninggikan martabat bangsa dan Negara. Olehnya pada kriteria-kriteria tadi, Sis Aljufri memenuhi untuk dijadikan pahlawan.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nur Salaeman mengatakan, saatnyalah Habib Idrus bin Salim Aljufri dihargai jasanya oleh Negara ini. “Di Sulawesi ada beberapa tokoh local yang dikenal. Namun Guru Tua dikenal oleh masyarakat, karena ia cukup membantu dalam memperjuangkan pendidikan bangsa ini,” kata Nur Salaeman.
Namun walau demikian, kata Nur Sulaeman yang juga unsur Ketua PB Alkhairaat ini, namun Abnaulkhairaat tidak menaruh harap, akan tetapi sebagai bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai perjuangan maka sudah sepantasnya menjadikan Guru Tua sebagai Pahlawan. (nanang)

Rabu, 25 Maret 2009

Kisah Ilham Firman alias Katiran

Kalimat Itu Menggelayut di Pikiranku


Saya lahir di Banyuwangi, 14 Maret 1967 silam dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ketika umur saya sekitar empat atau lima tahunan keluarga kami terlilit ekonomi. Karena kondisi ekonomi kami inilah, akhirnya keluarga saya memutuskan agar saya harus mengikuti ibadah setiap hari minggu di gereja. Karena jika ibadah di gereja akan diberikan sembako.

Namun sampai kelas 4 SD saya baru menyadari bahwa diri saya beragama Hindu. Maka mulailah pada saat itu saya berhenti untuk tidak mengikuti ibadah minggu itu. Ketika itu saya kecewa dengan diri saya dan juga dengan keluarga saya yang telah menanamkan agama ketolik yang sebenarnya bukan kepercayaan saya.

Akhirnya saya pun memutuskan untuk selalu aktif dalam setiap kegiatan agama saya. Apalagi saat saya aktif dalam Pemuda Nayaka Hindu, sejak itulah saya sering dimintai untuk memimpin ibadah. Bahkan setiap perlombaan membaca mantra tri sandiya saya selalu meraih juara 1, baik saat saya mengikuti tingkat dewasa maupun masih pada tingkat anak-anak. Memang pada saat itu, keluarga saya dikenal selalu menjuarai lomba tri sandiya.

Saat SMA seringkali jika guru agama Hindu tidak masuk, teman-teman mempercayakan saya untuk menggantikan guru tersebut. Bahkan saya mempunyai jadwal khsusus untuk hari Minggu mengajari teman-teman pelajaran agama Hindu.

Atas kemampuan saya ini, pada tahun 1985, teman-teman yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Agama Hindu (IPPMAH) mempercayakan saya sebagai Ketua Umum. Padahal, menurut saya ada begitu banyak pemuda, pelajar dan bahkan mahasiswa yang cerdas saat itu. Tapi mungkin karena saya sejak kecil ditanamkan agama Hindu dan mendapat kepercayaan dari pemimpin Hindu di sana, maka saya menduduki jabatan itu. Dari tahun 1981 saya memang tinggal di rumah Tokoh Hindu saat itu. Jadi pengalaman dan pelajaran tentang agama ini menjadi konsumsi saya sehari-harinya.

Dari situlah saya terus bersamangat untuk aktif menjadi aktivis Hindu. Setiap kegiatan keagamaan selalu antusias dan saya lakukan tanpa pamrih. Bisa dikata saya saat itu sangat fanatic dengan agama saya ini.

Namun pada tahun 1987, ketika saya berpindah kediaman, dari rumah tokoh Hindu ke rumah salah satu Tokoh Katolik, entah apa yang terjadi dengan saya. Keaktifan saya di Pura dan organisasi mengendur. Semangat untuk belajar agamapun sudah tak ada. Mantra-mantra juga seakan terlupakan begitusaja diingatan saya.

Sejak saat itu, saya ditimpa halusinasi yang sangat aneh. Api yang sangat membara seakan mengepul tinggi di dalam kamar saya. Berrhari-hari saya menghabiskan waktu di kamar. Saya ingin berteriak, walau hanya dalam hati, apa yang terjadi dengan saya. Kapala saya pening dan panas. Panas sekali. Tubuh saya pun seakan terbakar dengan bara api itu.

Jiwa saya tak tenang. Teman-teman saya pun heran melihat tingkah saya seperti orang kepanasan. Ketika saya tanyakan ke mereka apakah mereka melihat bara api di kamar itu? Jawaban mereka semua sama, tidak!. Kurang lebih dua pekan saya mengalami hal itu. Hingga suatu malam, sebuah kalimat yang tak kukenal menggelayut di pelupuk mataku, serta bertengger diotakku. Kalimat itu adalah Subhanallah (tutur Katiran getir dan meneteskan air mata). Pada malam berikutnya bermunculan lagi di otakku kalimat Alhamdulillah. Saya semakin bertanya apa maksud dari kalimat aneh ini? Sampai pada malam ketiga, kalimat Allah Akbar.

Pada malam berikutnya semua kalimat itu sudah bersamaan muncul diingatanku. Kalimat ini selalu terngiang di tiap-tiap detiknya. Batinku ingin berontak. Kalimat apakah ini?


Kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar, kalimat apakah itu? Dalam kondisi yang telah membaik, tak dihantui lagi oleh bara api, saya terus menenangkan pikiranku sembari mencari apa arti dari peristiwa ini?

Dalam kondisiku yang telah melupakan mantera-mantera agama saya. Saya akhirnya menemukan rahasia dari kalimat itu. Kebetulan se rumah dengan ku juga terdapat teman yang beragama Islam. Namun selama itu saya jarang berkomnikasi dengan meraka, karena memang komunitasku sehari-hari adalah masyarakat hindu.

Mulai kuperhatikan teman itu. Entah hati saya berkata lain, dari gerakan itu saya melihat sangat indah, betul-betul sangat indah. Mungkin dari dialah kutemukan apa arti dari keganjilan yang telah menimpa saya. Kuperhatikan ia diam-diam, dan ternyata ada kalimat itu, ya kalimat itu. Saat ia mengucapkan Allahuakbar sambil mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Tak sampai disitu, rasa penasaranku semakin bergejolak adakah dua kalimat lainnya.

Usai shalat, teman muslim tersebut mengucapkan Subhannallah, Alhamdulillah, dan Allahuakbar sambil memilintir butiran-butiran semacam gelang (tasbih) di tangannya. Saya perhatikan lagi, benar saja, itulah kalimat yang selama ini kucari. Saya lesuh. Jiwaku tertunduk dan pilu. Hatiku lebam, dihajar oleh kesalahan yang amat besar selama ini.

Namun, di sisi lain tertancap kemantapan iman, bahwa saya adalah hamba Allah SWT, tuhan semesta alam, Tuhan bagi orang-orang yang selamat di akhirat nanti. Tuhan yang mempunyai Rasul bernama Muhammad. Ya itulah Tuhanku.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru sya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjuarai kelas.

Di tengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru saya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjadi juara kelas.

Masyarakat banyak yang mengucilkan saya. Namun saya tidak peduli. Karena saya yakin keanehan-keanehan itu adalah petunjuk bagi saya. Karena dengan itu pula saya yakin betapa Allah menyayangi saya. Maka tidak pantas jika saya telah menemukan Hidayah dan merasa bahwa Allah menunjukkan kasih sayangnya lantas saya campakan.

Ditengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Ketika tamat SMA pada tahun 1988, saya memutuskan untuk kuliyah di Universitas Tadulako. Sekaligus, saya akan bersua dengan keluaragaku di Sausu. Tapi untuk mengaku bahwa saat itu saya sudah muslim, saya tak berani.

Sepandai-pandainya menyimpan terasi, pasti akan tercium juga. Bermula, saat kecurigaan keluarga setiap menjelang waktu shalat, saya tak tampak. Ketika ditanyakan kenaoa setiap waktu-waktu tertentu saya tidak ada. Akhirnya, setelah berbulan-bulan saya sembunyikan akhirnya saya mengaku, karena saya juga tak mau bebohong dengan orang tua. Saya katakan sejujurnya, bahwa saya sekarang telah Muslim. Keluarga kaget bukan kepalang.

Mendengar pengakuanku, keluarga saya hampir depresi. Namun saya coba berdialog baik-baik. Saya tidak mau ada percekcokkan apalagi disebabkan agama yang mulia ini. Dalam hati terpendam perasaan saya ingin menyelamatkan keluargaku dari kesalahan itu.

Alhamdulillah, walau pada awalnya mereka sangat menentang, tapi pada akhirnya, dengan sedikit pengetahuan saya tentang Islam saya selalu mengajak mereka berdiskusi dan suasana akhirnya seperti biasa. Namun saya tidak menyerah karena Allah mengatakan, Jagalah keluargamu dari api nereka.

Logika agama Islam ternyata diterima oleh mereka. Alhamdulillah, sebuah karunia sangat besar yang pernah kunikmati yaitu, tepat pada 1 Oktober 1988, saya menyaksikan keluargaku masuk Islam di salah satu Mesjid di Desa Sausu, kecuali salah satu kakakku. Alhamdulillah kini keluargaku, bisa dibilang sangat Islami.

Sementara itu, saat saya datang ke Palu, ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dengan Islam, yaitu Alkhairaat-nya. Kemudian saya mempelajari Apa itu Alkhairaat dan bagaimana Alkhairaat? Setelah saya pelajari, terpatrilah hatiku dengan Alkhairaat.

Tak puas saya dengan Hidayah pada Keluargaku, sayapun berinisiatif menyebarkan ajaran Alkhairaat di Sausu Trans. Bersama salah satu Tokoh Islam, Zaenal Arifin, dan seorang Mualaf Sudirman pada tahun 1990, setiap hari Jum’at kami menggelar pengajian, yang diisi oleh Alamarhum Ustad Saleh Gamar, Tokoh Alkhairaat Parigi. Alahmdulillah, dengan itu Alkhairaat berkembang di Sausu Trans.

Kini saya juga mengabdikan diri di Alkhairaat. Sekarang saya mengajar di SMA Alkhairaat Desa Kalukubula, Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi.

(Dituturkan Ilham Firman Alias Katiran Kepada Wartawan MAL, Nurdiansyah)

Selasa, 17 Maret 2009

Menapaki Jejak Pitu Nggota Ngata Kaili


Budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing berpendapat, Pitunggota atau tujuh wilayah, adalah tujuh sub etnis dari suku kaili. Tujuh sub etnis itu, yaitu Topo (yang menggunakan bahasa) Ledo, Topo Ija, Topo Ado, Topo Unde, Topo Rai, Topo Da’a dan Topo Tara.
“Topo Ledo berasal dari pegunungan sebelah timur di atas bukit Paneki yang disebut Lando Raranggonao sekarang ini Topo Ledo bermukim di kota Palu kearah selatan samapai Kecamatan Dolo sampai dengan sungai wera di barat,” jelas Sofyan Ing.
Sedangkan menurutnya, Topo Ija pada awalnya, bermukim di sebelah utara danau lindu di lereng gunung yang disebut Leu, Siloma, Volau, Uwemalei, dan Sigi Pulu. Sekarang ini To Ija, menurutnya, bermukim di Bora, Watunonju, Oloboju dan dataran Palolo serta Sibowi.
Selain itu, Topo Ado awalnya bermukim di lereng pegunungan sebelah timur tenggara, Namun sekarang ini bermukim di sebelah selatan wilayah pemukiman Topo Ledo, kearah selatan berbatas dengan Kuala Saluki dan Kuala Tiva batas wilayah Desa Bangga. To Unde yang awalnya bermukim di lereng gunung Kangihui dan gunung Kayunaya. Sekarang ini Topo Unde umumnya bermukim di kecamatan Banawa, dan Banawa Selatan.
Topo Rai pada awalnya, bermukim di lereng gunung Pombare Basa atau Parampata. Sekarang, Topo Rai umumnya bermukim mulai dari Kecamatan Banawa Palu Utara kearah utara sampai dengan kecamatan Balaisang. Topo Tara awalnya bermukim di lereng gunung sebelah timur Kota Palu di bagian utara dari pemukiman Topo Ledo. Sekarang Topo Tara bermukim di Kecamatan Palrigi, Sausu, Sebagiam Kecamata Ampibabo, serta beberapa kelurahan di Kecamtan Palu Timur.
“Sedangkan Topo Da’a yang kita kenal dengan To Lare, tetap berdiam di sebelah barat Kota Palu dan Kecamatan Marawola. Sekarang ini tergabung dalam wilayah Kecamatan Tinembani dan Pekava,” sebut salah satu Ketua PB Akhairaat ini.
Uniknya, kata Sofyan, tujuh sub etnis ini terdapat tujuh pula pula Dewan Adat Pitu Nggota yaitu, Magau di Sigi, Galara di Banawa, Pabisara di Pulu, Baligau di Dolo, Jogugu di Dolo, Punggava di Pinombani dan Kapita di Behoa.
Kata Sofyan Ing, bahkan Sub Etnis ini mendirikan tujuh kerajaan di tanah kaili. “Yaitu, Kerajaan Pujananti di Ganti, Kerajaan Tatanga di Palu, Kerajaan Baloni di Sigi, Kerajaan Tinombani di Dombu, Kerajaan Sidiru di Sibalaya, Kerjaan Pemantoa atau Parampata di Sindue dan Kerajaan Sausu atau Parigi,” jelas Sofyan Ing.
Ia menyebutkan, tiap kerajaan melaksanakan pemerintahannya secara otonom namim tetap terikat pada posisi dan fungsi masing-masing dalam adat. Namun meskipun demikian tidak pernah terjadi peperangan anatara kerajaan. Hal ini menuruntya, karena masing-masing kerajaan patuh pada hukum adat yang mengikat. (nanang lakawa)

Kamis, 19 Februari 2009

Darmawan Mahdjura, Abanulkhiaraat, Mahasiswa Tromso, Eropa

Tanamkan Nilai Trabiyah Alkhairaat di Mana Saja Berada


Beberapa hari yang lalu, pada edisi tanggal 18 Februari Media Alkhiaraat, pada halaman pertama, menuliskan sebuah kisah seorang abnaulkhairaat, Darmawan Mahdjura berdakwah lewat YM. Mahasisway program Magister di Universitas Tromso, Norwegia, Eropa Utara ini, kepada wartawan Media Alkhairaat, Nurdiansyah (Nanang), Jum’at kemarin, ia menuturkan kembali pengalamannya di Negara tersebut, dan pengalaman tersebut menjadi hikmah bagi masyarakat Indonesia, khususnya pula Sulteng. Berikut wawancaranya:


Apa Kabar?

Alhamdulillah semuanya dalam kondisi yang terbaik

Bagaiamana perasaan anda setelah mendaptakan beasiswa ke Norwegia?

Saya menyerahkan seluruh kesyukuran saya hanya kepada Sang Maha Pemberi Rizki yang terbaik kepada siapa yang Dia kehendaki. Saya sangat bahagia karena ini merupakan kesempatan terbaik berikutnya bagi saya untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai anak bangsa, karena tidak semua anak bangsa bisa berasakan nikmat yang sama. Walaupun sempat muncul kekhawatiran akan beberapa implikasi pemberitaan yang menunjukkan adanya sikap diskriminatif dunia barat terhadap Islam yang pengaruhnya bisa dirasakan langsung oleh seorang individu Muslim baik yang tinggal maupun yang berkunjung/melanjutkan studi di luar, seperti yang sering di beritakan oleh media. Selain itu ada kekhawatiran akan culture shock sebagaimana umumnya orang ketika berada pada lingkungan baru.

Bagaimana perasaan anda setelah tiba di Norwegia?

Secara pribadi ada perasaan haru dan kagum atas kebesaran Sang Maha Pencipta karena menyaksikan banyaknya tanda-tanda kebesaran-Nya yang dihamparkan di belahan bumi paling utara ini yang tidak pernah di lihat dan dirasakan di tanah air. Hal yang terlihat dan terasa sangat kontras adalah kondisi cuaca. Tepatnya di kota Tromso, kota dimana saya menumpuh studi skarang yang di gelari ”gate to the arctic”/pintu gerbang ke wilayah kutub. Saat baru menginjakkan kaki di kota ini setalah menempuh perjalanan udara selama 20 jam dari Indonesia, terasa sejuk dan dinginya hembusan angin kutub utara yang sekaligus membuat saya secara spontan menggingil karena tidak tahan rasa dinginya. Saat itu sebenarnya masih “summer” atau musim panas, tapi untuk kota Tromsø suhu musim panasnya kisaran 5 - 15° C , sempat terbayang bagaimana musim dinginnya ya?

Selanjuntnya yang tidak kalah menakjubkan ternyata selama musim panas, periode Mei sampai Juli saya tidak pernah merasakan adanya malam hari (baca: Gelap). Matahari terbenam jam 11 malam dan terbit kembali jam 02.00 Pagi, selang waktunya tidak ada, gelap sama sekali, alhasil 1 x 24 jam selama tiga bulan tanpa malam. Periode ini dinamakan “midnight sunatau matahari tengah malam. Hal sebaliknya terjadi ketika ”winter” atau musim dingin periode November sampai Januari, saya tidak pernah melihat adanya matahari muncul kepermukaan 1 x 24 jam selama bulan tersebut. Periode ini di di namakan ”period of darkness” atau periode kegelapan dengan suhu udara mencapai -15°C. Awalnya sempat bingung dalam penentuan waktu sholat dan arah kiblat, tapi Alhamdulillah ada Al-Nor Tromso Islamic Center yang menjadi rujukan saya.

Disamping perasaan takjub atas segala bebesaran Allah diatas, terbesik rasa gamang dalam hati, sanggupkah saya bertahan dalm kondisi cuaca yang sangat extrim ini dan juga hidup dengan budaya dan gaya hidup yang benar-benar ”rusak”, jauh dari orang orang yang selalu menasehati setiap saat, jauh dari keluarga; istri dan anak?

Apa kesulitan yang anda rasakan setelah tiba di norwegia?

Saya kira umum bagi yang baru manginjakkan kakinya di negeri orang. Kesulitan yang saya rasakan adalah penyesuaian makanan, pola tidur sampai pada budaya dan gaya hidup. Budaya timur dan barat yang sangat kontras menjadi tantangan tersendiri bagi saya secara pribadi. Apalagi di kaitkan dengan budaya dan gaya hudup yang Islami, sungguh sangat jauh dari nilainya yang mulia. Saya berfikir inilah jihad sebenarnya yang ril saya hadapi selama 2 tahun nantinya di Eropa.

Apa kesulitan anda selama kuliah (belajar) di sana?

Ada hal yang terasa sangat berbeda dari sisi pengajaran dan pembelajaran di sini dibandingkan dengan di tanah air dengan tidak menyepelehkan nilai ketimuran kita, yakni semangat membaca dan menulis mereka. Kalau menurut sahabat saya di Universitas Gajah Mada, selama satu semster mereka di bebani membaca dan menelaah satu buku stebal 200 halamn berbahasa Inggris, di tempat saya belajar sekarang, selama semester pertama mahasiswa di suruh menghabisakan bacaan sebenyak 2000-2500 halaman. Alhasil banyak waktu kita di habiskan membaca. Hal ini tentu saja menjadi kesulitan utama saya dalam belajar sekaligus menjadi tantangan dan bahan pembelajaran yang cukup bagus bagi peningkatan kualitas akademik saya secar pribadi. Dan sayapun berfikir kenapa hal in tidak kita massifkan dalam proses pembinaan remaja dan anak-anak kita di rumah dan disekolah dengan merangsang dan menumbuhkan semangat dan minat baca ke mereka sejak dini.

Bagaimana perasaan anda di sana mengingat keluarga yang di Indonesia?

Sedih dan rindu adalah gabungan perasaan yang sangat susah untuk di gambarkan dengan kata-kata. Saya harus meninggalkan Istri dan 2 orang buah hati demi tugas ini, bukan karena unsur kesengajaan tapi lebih ke masalah administratif.

Sering kontak dengan keluarga tidak?

Alhamdulillah sampai saat ini saya terus menghubungi mereka setiap harinya bahkan tak jarang sampai 3 kali sehari menelpon mereka. Masalah biaya nelpon saya harus menghabiskan 30-40 Euro setiap bulannya.

Apa pesan dari keluarga?

Keluarga besar semuanya mengharapkan yang terbaik dari hasil studi dan bisa kembali secepatnya untuk melakukan proyek peradaban yang lebih besar lagi di Indonesia dan kota Palu secara khusus.

Anda memperbaiki diri dengan chating. Lantas bagaimana kalau lagi tidak mood chat?

Seperti apa yang pernah saya ungkapkan sebelumnya di Media Alkhairaat melalui e-mail, bahwa sarana chatting (baca: Yahoo Mesengger) bagi saya dan masyarakat muslim indonesia di sini dijadikan selain sebagai sarana menyambung silaturrahim sesama WNI juga yang paling fenomenal adalah di jadikan sebagai sarana Dakwah. Kami melakukannya setiap pekannya dengan menghadirkan Ustadz pembicara baik dari Indonesia maupun dari Mesir langsung secara online. Jadi Ustadznya berbicara di Indonesia atau di Mesir, pendengarnya bisa di se entero Eropa mulai Norwegia, Swedia, Jerman, Inggris, Bosnia, Swiss, dll. Sesekali kami melakukan pertemuan dan pengajian darat bersama masyarakat Muslim di Eropa.

Sementara untuk kondisi-kondisi tertentu bertepatan dengan absennya kegiatan pengajian, kegiatan rutinnya adalah menghabiskan tugas bacaan yang bertumpuk.

Bagaimana komentar teman-teman (wna) dengan gaya hidup anda?

Teman-teman sekelas mayoritas non-Muslim (baca:Kristen) hanya saya berdua dangan mahasiswa dari Negara bagian Afrika, Uganda, yang Muslim. Mereka semuanya respect dan menaruh simpati terahadap gaya hidup saya, karena sejak pertama saya sudah memperkenalkan diri sebagai Muslim. Terlebih lagi ketika ada hal-hal yang sangat kontars mereka lihat, mereka pasti menanyakan ke saya, seperti, kenapa saya memelihara jenggot, dan lain lain. Saya pun sering terlibat diskusi dengan mereka untuk saling tukar informasi mengenai hal-hal fundamental yang membedakan antara Kristen dan Islam, tak jarang muncul dari mulut mereka kata-kata ”good to know Islam from you”, saya pun berdoa mudah-mudahan Allah akan memberi petunjuk kepada mereka untuk mampu memahami dan bahkan memeluk Islam suatu saat.

Kasus yang sering saya hadapi adalah benturan waktu sholat Jum’at dengan perkuliahan, saya pun dengan jujur mengatakan pada dosen yang mengajar hari itu untuk tidak bisa hadir karena harus ke masjid untuk melakukan ”weekly prayer” mereka dengan spontan merespon dangan kata kata ”no problem, that’s good”. Bahkan pernah jadwal perkuliahan harus diliburkan dan dipindahkan ke hari lain karena bertepatan dengan hari raya Idul Fithri.

Anda tetap Istiqomah?

Saya rasa menjawab pertanyaan ini sangat subjektif untuk mengatakan saya istiqomah atau tidak. Yang terpenting bagi saya adalah selama nilai-nilai tarbiyah Islamiyah yang kita dapati dan pelajari selama ini terinternalisasi dengan baik dalam diri seorang muslim saya kira tidak masalah baginya untuk hidup di belahan bumi bagian mana pun. Seperti ikan yang mampu yang tetap segar dan bertahan dalam kondisi laut yang sangat asin sekalipun. Secara pribadi Alhamdulillah saya tetap berusaha komitmen untuk melakukan waajibaat yaumiyyan atau kewajiban harian yang bisa membentengi diri dan bisa menjaga stabilitas ruhiyah dalam kondisi yang sangat memungkinkan untuk bisa fluktuatif, seperti tilawah Al-Qur’an minimal setengah juz perhari, kalau target tidak bisa di selesaikan di apartemen sering kali Mushaf Al-Qur’an selalu menemani ke kampus, sholat dhuha, puasa Senin Kamis, qiyamullail minimal 1 kali sepekan, berusaha tetap menjaga wudhu setiap saat, dan tak kalah penting ada hiburan yang selalu menemani kemanapun saya pergi, yakni MP3 Player yang selalu mendengungkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu saya berusaha memaksimalkan diri untuk hadir setiap Ba’da Isya di Tromsø Islamic Center untuk ikut kajian keislaman walaupun harus menggunakan transportasi bus karena lokasinya cukup jauh dari apartemen tempat saya tinggal. Dan dengan izin dan kekuatan dari Allah semuanya bisa di jalani dengan mudah.

Apa yang bisa dipelajari umat Islam dengan budaya orang Norwegia?

Di samping budaya masyarakat dan secara khusus moral para pemuda dan remajanya yang sedemikian jauh dari nilai Islam, setidaknya ada dua pelajaran berharga yang bisa saya ambil dari selama tujuh bulan bersama dengan masyarakat Norwegia, Pertama, budaya malu mereka yang tinggi dan sering tertutup, yang tentunya secara jujur sebagian masyarakat Islam di Indonesia budaya malu telah menjadi hal yang langka. Dua, budaya perdamaian, dari indeks negara teraman di dunia, Norwegai menempati urutan teratas. Praktisnya dalam setiap menyelesaikan persoalan mereka lebih mendahulukan dialog dan empati, selama tujuh bulan di Norwegia saya tidak pernah melihat sekalipun ada perkelahian terjadi baik itu di jalanan atau di kampus. Kecuali demonstrasi yang menentang kebiadaban Israel beberapa waktu lalu, itupun yang melakukan masyarakat Imigran.

Apa yang membuat anda sangat bersedih kalau membedakan sesuatu (yang baik) dari masyarakat Norwegia, dengn kebiasan buruk warga Indonesia?

Satu catatan penting dari hasil pembelajaran ini yang membuat saya sedih adalah sebagian masyarakat Islam di Indonesia lebih mendahulukan sikap saling menghujat ketimbang saling rangkul, saling menjatuhkan sesama saudara muslimnya ketimbang mendukungnya, masih jauh dari budaya perdamaian apalagi soal budaya disiplin. Inilah realitas masyarakat muslim kita yang tidak hanya terjadi di Indonesia tapi menggejala ke seluruh negara-negara Islam lainnya.

Anda Abnaulkhairaat, jika kembali, apa yang anda ingin berikan kepada Alkhairaat?

Seyogyanya setiap abnaul khairaat dimanapun dia berada, apa pun profesinya, harus selalu menginternalisasi nilai-nilai luhur tarbiyah yang pernah di dapatkannya dari bangku sekolah sejak Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, Aliyah bahkan perguruan tinggi sekalipun. Nilai yang saya maksud adalah, setidaknya mampu menjadi teladan baik bagi orang sekelilingnya. Dan nilai tertinggi dari semua ini adalah mampu terlibat massif dalam penyebaran fiqrah Islam yang syumul melalui dakwah dimanapun dan apapun posisinya di masyarakat dan mampu membawa harum nama baik sebagai Abnaul Khairaat dimanapun mereka berada. Secara pribadi sebagai abnaul khairaat saya banyak berhutang budi dan hutang amanah serta masih merasa belum mampu membalasnya sebagaimana yang Al-kahiraat berikan pada saya, tapi Insya Allah, Habib Idrus Bin Salim Aljufri, sebagai sosok Guru Tua yang telah menorehkan sejarah berkembangnya Islam di Indonesia Timur dan menjadi inspirasi bagi jalan dakwah yang saya geluti saat ini serta semua Ustadz yang pernah mengajar saya akan memperoleh amal jariyah atas semua amal kebaikan dan amal dakwah yang saya lakukan saat ini dan akan datang. Dan tidak ada balasan yang lebih pantas bagi mereka semua kecuali ”JANNAH-NYA ALLAH” Insya Allah., wa Jazaakumullahu Ahsanul Jazaa.

TERIMAKASIH TELAH MEMBACA BLOG SAYA