SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA Kuli Tinta Ngeblog: Maret 2009

Jumat, 27 Maret 2009

Saatnya “Bintang Timur” Jadi Pahlawan

Sayyed Idrus bin Salim Aljufri atau yang lebih dikenal dengan sapaan Guru Tua, adalah sosok yang paripurna di jagad Indonesia Timur. Namanya harum membentang ke seluruh Indonesia hingga di luar kepulauan Nusantara ini.
Semangatnya besar, menebarkan Islam ke sudut-sudut daerah hingga ke daerah yang tak terjamak. Ia susuri wilayah-wilayah yang terjal dan beronak hanya untuk menjadikan umat beraqidah dan berilmu. Akhirnya, wilayah yang disusuri pun jauh sangat merasakan hasil perjuangannya.
Andai dirunut lebih jauh, tak terhitung jasa-jasanya, baik dalam penanaman prinsip kemasyarakatan maupun kebangsaan. Ia juga disebut sebagai Bintang Timur dari Indonesia. Olehnya, Muslim Indonesia timur sangat sulit melupakan perjuangan gigih dari seorang Guru Tua. Dia adalah Insiprasi, dia adalah semangat dan dia adalah pahlawan.
Kini perjuangannya akan dihargai setinggi-tingginya. Paling tidak dengan menajadikan dirinya sebagai Pahlawan dipandang dari pendekatan politik, atau Pahlawan Nasional. Jadi bukan lagi sudut pandang budaya, sejarah, atau dakwah.
Olehnya, telah banyak yang menghargai jasanya, puja-puji yang disebut oleh Birokrasi pemerintah setiap moment kealkhairatan bukan lagi omong kosong belaka. Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid misalnya, ia menghubungi langsung Menteri Kesejahteraan Sosial, Bachtiar Hamsyah untuk menjadikan Guru Tua sebagai Pahlawan.
Sementara, di Indonesia Timur, daerah pengorbanan Sayyed Idrus bin Salim Aljufri, disuarakan dengan Istiqamah oleh tokoh-tokoh Daerah. Gubernur misalnya, mengajukan surat rekomendasi, dengan Nomor: 464.1/238/Dinsos kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial, 14 Juni 2008 lalu. Disusul rekomendasi dari Universitas Alkhairaat, dengan nomor surat: 206/0.14/UA/VI/2008.
Namun sebelum itu, 16 Juni 2008, perguruan tinggi terbesar di Sulteng, Universitas Tadulako juga turut merekomendasikan Sis Aljufri sebagai Pahlawan Nasional, dengan nomor surat, 2976/H28/LL/2008. Begitupun sebuah lembaga adat dari banggai, yang mengatasanamakan, Lembaga Musayawarah Adat Banggai, dengan pimpinan Muhammad Chair Amin juga mengajukan surat rekomendasi usulan pengukuhan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional. Disusul juga beberapa pernyataan dari berbagai kelompok di Sulteng.
Olehnya akhir tahun lalu, dilakukanlah seminar Pengenalan Profil Guru Tua, di Hotel Palu Golden. Seminar ini adalah merupakan salah satu pra syarat untuk merekomnedasikan seorang pahlwan Nasional. Mulailah darisitu pewacanaan kepahlwanan Guru Tua berkembang.
Pada akhir tahun lalu juga Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Sulwesi Tengah, Sutrisno Sembiring, mendatanhi Direktorat Jenderal Bina Kesejhateraan Sosial, untuk mengajukan perekomendasian Sulteng.
“Saya ketemu langsung dengan pak Gunawan, Dirjend Bina Kesejhateraan Sosial. Tapi kata beliau, Guru Tua masih terkendala pada status kewarganegaraan. Namun saya katakana kepada Pak Gunawan. Tokoh terdahulu yang dating ke Indonesia, berbeda dengan saat ini. Karena mereka merasa diri telah menjadi warga Negara ini. Itupun dahulu Indonesia belum menjadi nama Negara,” kata Sutrisno, Jum’at kemarin.
Sementara itu, Kepala Seksi Pelestarian Nilai Kepahlawanan dan Pemberdayaan Keluarga, Tahan Hj Abdul Djalil mengatakan, bahwa alasan Dirjend tersebut telah clear, kini status kewarganegraan Guru Tua tidak dipermasalahkan.
“Sebab Guru Tua adalah pejuang pendidikan dan dakwah yang ada sebelum kemerdekaaan,” kata Tahan kepada Media Alkhairaat, Jum’at kemarin di ruangannya.
Sementara untuk syarat seseorang untuk dijadikan Pahlawan kata Tahan, selain ia WNI, yaitu telah meninggal. Kemudian pengusulannya diajukan secara tertulis, dengan surat Gubernur Kepala Daerah selaku Ketua Bandan Pembina Pahlwan Daerah disertai Surat Rekomendasi Gubernur selaku ketua Badan Pembina Pahlawan Daerah, Mempunyai tanda penghargaan yang telah diberikan oleh pemerintah.
Selanjutnya, pendapat-pendapat dari orang terkemuka, tokoh masyarakat baik positif dan negative. Foto atau gambar yang menunjukkan tentang bukti-bukti perjuangan yang telah dilakukan. Kemudian riwayat hidup calon pahlwann dan riwayat perjuangan, serta keterangan-ketarangan lainnya.
Tahan mengatakan, saat ini pihaknya masih sementara mengumpulkan buku-buku tentang Tokoh Guru Tua. Dari hasil pengumpulannya masih dua buku yang berhasil didapatkannya, yaitu buku Modernis Pendidikan dan Dakwah di Tanah Kaili (1930-1969), tulisan HM Noor Sulaeman Pettalongi dan buku Sang Bintang dari Timur, Sayyed Idrus bin Salim Aljufri Sosok Ulama Sastra, oleh Dr H Achmad Bacchmid.
“Selain itu, salah satu penghargaan kepada guru sebagai Pahlwan pembanguna pendidikan, tokoh perintis kemerdekaan RI. Sang tokoh kedaulatan Alkhlakul Karimah dari Sulteng. Dari masyarakat Sulteng,” kata Tahan lagi.
Sedangkan untuk kriteria kepahlawanan nasional adalah, berkepribadian dan berakhlak baik serta tidak ternoda. Selanjutnya percaya diri sendiri, berani dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia juga mempunyai cita-cita tinggi untuk kemajuan bangsa, Negara rela berkorban untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kriteria lainnya, melakukan dan memimpin perjuangan bersenjata, perjuanagn politik atau perjuangan bentuk lain untuk mencapai, mewujudkanm mempertahankan kemrdekaan dan persatuan bangsa. Kemudian melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang menujang pembangunan bansa dan Negara. Dan juga menghasilkan kraya mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat luas atau meninggikan martabat bangsa dan Negara. Olehnya pada kriteria-kriteria tadi, Sis Aljufri memenuhi untuk dijadikan pahlawan.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nur Salaeman mengatakan, saatnyalah Habib Idrus bin Salim Aljufri dihargai jasanya oleh Negara ini. “Di Sulawesi ada beberapa tokoh local yang dikenal. Namun Guru Tua dikenal oleh masyarakat, karena ia cukup membantu dalam memperjuangkan pendidikan bangsa ini,” kata Nur Salaeman.
Namun walau demikian, kata Nur Sulaeman yang juga unsur Ketua PB Alkhairaat ini, namun Abnaulkhairaat tidak menaruh harap, akan tetapi sebagai bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai perjuangan maka sudah sepantasnya menjadikan Guru Tua sebagai Pahlawan. (nanang)

Rabu, 25 Maret 2009

Kisah Ilham Firman alias Katiran

Kalimat Itu Menggelayut di Pikiranku


Saya lahir di Banyuwangi, 14 Maret 1967 silam dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ketika umur saya sekitar empat atau lima tahunan keluarga kami terlilit ekonomi. Karena kondisi ekonomi kami inilah, akhirnya keluarga saya memutuskan agar saya harus mengikuti ibadah setiap hari minggu di gereja. Karena jika ibadah di gereja akan diberikan sembako.

Namun sampai kelas 4 SD saya baru menyadari bahwa diri saya beragama Hindu. Maka mulailah pada saat itu saya berhenti untuk tidak mengikuti ibadah minggu itu. Ketika itu saya kecewa dengan diri saya dan juga dengan keluarga saya yang telah menanamkan agama ketolik yang sebenarnya bukan kepercayaan saya.

Akhirnya saya pun memutuskan untuk selalu aktif dalam setiap kegiatan agama saya. Apalagi saat saya aktif dalam Pemuda Nayaka Hindu, sejak itulah saya sering dimintai untuk memimpin ibadah. Bahkan setiap perlombaan membaca mantra tri sandiya saya selalu meraih juara 1, baik saat saya mengikuti tingkat dewasa maupun masih pada tingkat anak-anak. Memang pada saat itu, keluarga saya dikenal selalu menjuarai lomba tri sandiya.

Saat SMA seringkali jika guru agama Hindu tidak masuk, teman-teman mempercayakan saya untuk menggantikan guru tersebut. Bahkan saya mempunyai jadwal khsusus untuk hari Minggu mengajari teman-teman pelajaran agama Hindu.

Atas kemampuan saya ini, pada tahun 1985, teman-teman yang tergabung dalam Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Agama Hindu (IPPMAH) mempercayakan saya sebagai Ketua Umum. Padahal, menurut saya ada begitu banyak pemuda, pelajar dan bahkan mahasiswa yang cerdas saat itu. Tapi mungkin karena saya sejak kecil ditanamkan agama Hindu dan mendapat kepercayaan dari pemimpin Hindu di sana, maka saya menduduki jabatan itu. Dari tahun 1981 saya memang tinggal di rumah Tokoh Hindu saat itu. Jadi pengalaman dan pelajaran tentang agama ini menjadi konsumsi saya sehari-harinya.

Dari situlah saya terus bersamangat untuk aktif menjadi aktivis Hindu. Setiap kegiatan keagamaan selalu antusias dan saya lakukan tanpa pamrih. Bisa dikata saya saat itu sangat fanatic dengan agama saya ini.

Namun pada tahun 1987, ketika saya berpindah kediaman, dari rumah tokoh Hindu ke rumah salah satu Tokoh Katolik, entah apa yang terjadi dengan saya. Keaktifan saya di Pura dan organisasi mengendur. Semangat untuk belajar agamapun sudah tak ada. Mantra-mantra juga seakan terlupakan begitusaja diingatan saya.

Sejak saat itu, saya ditimpa halusinasi yang sangat aneh. Api yang sangat membara seakan mengepul tinggi di dalam kamar saya. Berrhari-hari saya menghabiskan waktu di kamar. Saya ingin berteriak, walau hanya dalam hati, apa yang terjadi dengan saya. Kapala saya pening dan panas. Panas sekali. Tubuh saya pun seakan terbakar dengan bara api itu.

Jiwa saya tak tenang. Teman-teman saya pun heran melihat tingkah saya seperti orang kepanasan. Ketika saya tanyakan ke mereka apakah mereka melihat bara api di kamar itu? Jawaban mereka semua sama, tidak!. Kurang lebih dua pekan saya mengalami hal itu. Hingga suatu malam, sebuah kalimat yang tak kukenal menggelayut di pelupuk mataku, serta bertengger diotakku. Kalimat itu adalah Subhanallah (tutur Katiran getir dan meneteskan air mata). Pada malam berikutnya bermunculan lagi di otakku kalimat Alhamdulillah. Saya semakin bertanya apa maksud dari kalimat aneh ini? Sampai pada malam ketiga, kalimat Allah Akbar.

Pada malam berikutnya semua kalimat itu sudah bersamaan muncul diingatanku. Kalimat ini selalu terngiang di tiap-tiap detiknya. Batinku ingin berontak. Kalimat apakah ini?


Kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar, kalimat apakah itu? Dalam kondisi yang telah membaik, tak dihantui lagi oleh bara api, saya terus menenangkan pikiranku sembari mencari apa arti dari peristiwa ini?

Dalam kondisiku yang telah melupakan mantera-mantera agama saya. Saya akhirnya menemukan rahasia dari kalimat itu. Kebetulan se rumah dengan ku juga terdapat teman yang beragama Islam. Namun selama itu saya jarang berkomnikasi dengan meraka, karena memang komunitasku sehari-hari adalah masyarakat hindu.

Mulai kuperhatikan teman itu. Entah hati saya berkata lain, dari gerakan itu saya melihat sangat indah, betul-betul sangat indah. Mungkin dari dialah kutemukan apa arti dari keganjilan yang telah menimpa saya. Kuperhatikan ia diam-diam, dan ternyata ada kalimat itu, ya kalimat itu. Saat ia mengucapkan Allahuakbar sambil mengangkat kedua tangannya setinggi telinga. Tak sampai disitu, rasa penasaranku semakin bergejolak adakah dua kalimat lainnya.

Usai shalat, teman muslim tersebut mengucapkan Subhannallah, Alhamdulillah, dan Allahuakbar sambil memilintir butiran-butiran semacam gelang (tasbih) di tangannya. Saya perhatikan lagi, benar saja, itulah kalimat yang selama ini kucari. Saya lesuh. Jiwaku tertunduk dan pilu. Hatiku lebam, dihajar oleh kesalahan yang amat besar selama ini.

Namun, di sisi lain tertancap kemantapan iman, bahwa saya adalah hamba Allah SWT, tuhan semesta alam, Tuhan bagi orang-orang yang selamat di akhirat nanti. Tuhan yang mempunyai Rasul bernama Muhammad. Ya itulah Tuhanku.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru sya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjuarai kelas.

Di tengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Atas kemantapan itu, saya mencoba mencari panduan agar saya bisa mengenal lebih jauh tentang Islam. Dengan modal panduan buku kunci ibadah yang saya beli dari tokoh buku di Banyuwangi saya langsung memutuskan untuk belajar shalat. Waktu itu malam Jum’at, saya putuskan diri untuk bersyahadat La Ilaha Ila Llah Muhammad Rasulullah.

Saya pun mantap kan diri ingin Shalat. Kubaca di buku, namanya Shalat Isya. Tapi sebuah keganjilan lain muncul, tak pernah kubaca sebelumnya pada panduan, sebelum shalat saya harus mandi dulu. Saya yakin dengan mandi itu saya akan bersih dari kesalahanku yang lalu. Kemudian saya baca panduan harus shalat. Mulai dari situlah saya terus shalat lima waktu sampai sekarang.

Esoknya, Hari Jum’at kepada guru agama Hindu, namanya Sudarsono, saya mengaku bahwa saya telah berpindah agama. Mendengar itu, Guru saya itu shok berat betapa tidak saya adalah murid yang dianggap cerdas saat itu. Saya sering mendengar dari cerita-cerita teman-teman atau juga guru kalau saya adalah penerus tokoh agama di sana, pantaslah mereka kecewa dan shok berat. Apalagi saya dikenal adalah tokoh hindu di sana.

Namun, saya selaku masyarakat harus bertanggung jawab. Bahwa saya juga harus berbaik budi dengan mereka. Saat itu saya masuk dalam panitia pembangunan Pura, saat saya sudah bersayahadat dan telah shalat lima waktu, saya terus masih mempertanggung jawabkan tugas saya sebagai panitia hingga dengan Pura itu selesai. Bahkan di sekolahku saya juga masih menjadi juara kelas.

Masyarakat banyak yang mengucilkan saya. Namun saya tidak peduli. Karena saya yakin keanehan-keanehan itu adalah petunjuk bagi saya. Karena dengan itu pula saya yakin betapa Allah menyayangi saya. Maka tidak pantas jika saya telah menemukan Hidayah dan merasa bahwa Allah menunjukkan kasih sayangnya lantas saya campakan.

Ditengah kemantapan ini, ada satu kendala lagi yang saya rasakan. Keluarga saya yang semuanya berada di Sulawesi Tengah, Sausu Trans, belum mengetahui kabar bahwa saya telah berpindah agama. Dalam hati saya trus khawatir, mereka akan mengusirku dan tidak mengakui lagi saya sebagai anak.

Ketika tamat SMA pada tahun 1988, saya memutuskan untuk kuliyah di Universitas Tadulako. Sekaligus, saya akan bersua dengan keluaragaku di Sausu. Tapi untuk mengaku bahwa saat itu saya sudah muslim, saya tak berani.

Sepandai-pandainya menyimpan terasi, pasti akan tercium juga. Bermula, saat kecurigaan keluarga setiap menjelang waktu shalat, saya tak tampak. Ketika ditanyakan kenaoa setiap waktu-waktu tertentu saya tidak ada. Akhirnya, setelah berbulan-bulan saya sembunyikan akhirnya saya mengaku, karena saya juga tak mau bebohong dengan orang tua. Saya katakan sejujurnya, bahwa saya sekarang telah Muslim. Keluarga kaget bukan kepalang.

Mendengar pengakuanku, keluarga saya hampir depresi. Namun saya coba berdialog baik-baik. Saya tidak mau ada percekcokkan apalagi disebabkan agama yang mulia ini. Dalam hati terpendam perasaan saya ingin menyelamatkan keluargaku dari kesalahan itu.

Alhamdulillah, walau pada awalnya mereka sangat menentang, tapi pada akhirnya, dengan sedikit pengetahuan saya tentang Islam saya selalu mengajak mereka berdiskusi dan suasana akhirnya seperti biasa. Namun saya tidak menyerah karena Allah mengatakan, Jagalah keluargamu dari api nereka.

Logika agama Islam ternyata diterima oleh mereka. Alhamdulillah, sebuah karunia sangat besar yang pernah kunikmati yaitu, tepat pada 1 Oktober 1988, saya menyaksikan keluargaku masuk Islam di salah satu Mesjid di Desa Sausu, kecuali salah satu kakakku. Alhamdulillah kini keluargaku, bisa dibilang sangat Islami.

Sementara itu, saat saya datang ke Palu, ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dengan Islam, yaitu Alkhairaat-nya. Kemudian saya mempelajari Apa itu Alkhairaat dan bagaimana Alkhairaat? Setelah saya pelajari, terpatrilah hatiku dengan Alkhairaat.

Tak puas saya dengan Hidayah pada Keluargaku, sayapun berinisiatif menyebarkan ajaran Alkhairaat di Sausu Trans. Bersama salah satu Tokoh Islam, Zaenal Arifin, dan seorang Mualaf Sudirman pada tahun 1990, setiap hari Jum’at kami menggelar pengajian, yang diisi oleh Alamarhum Ustad Saleh Gamar, Tokoh Alkhairaat Parigi. Alahmdulillah, dengan itu Alkhairaat berkembang di Sausu Trans.

Kini saya juga mengabdikan diri di Alkhairaat. Sekarang saya mengajar di SMA Alkhairaat Desa Kalukubula, Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi.

(Dituturkan Ilham Firman Alias Katiran Kepada Wartawan MAL, Nurdiansyah)

Selasa, 17 Maret 2009

Menapaki Jejak Pitu Nggota Ngata Kaili


Budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing berpendapat, Pitunggota atau tujuh wilayah, adalah tujuh sub etnis dari suku kaili. Tujuh sub etnis itu, yaitu Topo (yang menggunakan bahasa) Ledo, Topo Ija, Topo Ado, Topo Unde, Topo Rai, Topo Da’a dan Topo Tara.
“Topo Ledo berasal dari pegunungan sebelah timur di atas bukit Paneki yang disebut Lando Raranggonao sekarang ini Topo Ledo bermukim di kota Palu kearah selatan samapai Kecamatan Dolo sampai dengan sungai wera di barat,” jelas Sofyan Ing.
Sedangkan menurutnya, Topo Ija pada awalnya, bermukim di sebelah utara danau lindu di lereng gunung yang disebut Leu, Siloma, Volau, Uwemalei, dan Sigi Pulu. Sekarang ini To Ija, menurutnya, bermukim di Bora, Watunonju, Oloboju dan dataran Palolo serta Sibowi.
Selain itu, Topo Ado awalnya bermukim di lereng pegunungan sebelah timur tenggara, Namun sekarang ini bermukim di sebelah selatan wilayah pemukiman Topo Ledo, kearah selatan berbatas dengan Kuala Saluki dan Kuala Tiva batas wilayah Desa Bangga. To Unde yang awalnya bermukim di lereng gunung Kangihui dan gunung Kayunaya. Sekarang ini Topo Unde umumnya bermukim di kecamatan Banawa, dan Banawa Selatan.
Topo Rai pada awalnya, bermukim di lereng gunung Pombare Basa atau Parampata. Sekarang, Topo Rai umumnya bermukim mulai dari Kecamatan Banawa Palu Utara kearah utara sampai dengan kecamatan Balaisang. Topo Tara awalnya bermukim di lereng gunung sebelah timur Kota Palu di bagian utara dari pemukiman Topo Ledo. Sekarang Topo Tara bermukim di Kecamatan Palrigi, Sausu, Sebagiam Kecamata Ampibabo, serta beberapa kelurahan di Kecamtan Palu Timur.
“Sedangkan Topo Da’a yang kita kenal dengan To Lare, tetap berdiam di sebelah barat Kota Palu dan Kecamatan Marawola. Sekarang ini tergabung dalam wilayah Kecamatan Tinembani dan Pekava,” sebut salah satu Ketua PB Akhairaat ini.
Uniknya, kata Sofyan, tujuh sub etnis ini terdapat tujuh pula pula Dewan Adat Pitu Nggota yaitu, Magau di Sigi, Galara di Banawa, Pabisara di Pulu, Baligau di Dolo, Jogugu di Dolo, Punggava di Pinombani dan Kapita di Behoa.
Kata Sofyan Ing, bahkan Sub Etnis ini mendirikan tujuh kerajaan di tanah kaili. “Yaitu, Kerajaan Pujananti di Ganti, Kerajaan Tatanga di Palu, Kerajaan Baloni di Sigi, Kerajaan Tinombani di Dombu, Kerajaan Sidiru di Sibalaya, Kerjaan Pemantoa atau Parampata di Sindue dan Kerajaan Sausu atau Parigi,” jelas Sofyan Ing.
Ia menyebutkan, tiap kerajaan melaksanakan pemerintahannya secara otonom namim tetap terikat pada posisi dan fungsi masing-masing dalam adat. Namun meskipun demikian tidak pernah terjadi peperangan anatara kerajaan. Hal ini menuruntya, karena masing-masing kerajaan patuh pada hukum adat yang mengikat. (nanang lakawa)
TERIMAKASIH TELAH MEMBACA BLOG SAYA