SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA Kuli Tinta Ngeblog: Februari 2009

Kamis, 19 Februari 2009

Darmawan Mahdjura, Abanulkhiaraat, Mahasiswa Tromso, Eropa

Tanamkan Nilai Trabiyah Alkhairaat di Mana Saja Berada


Beberapa hari yang lalu, pada edisi tanggal 18 Februari Media Alkhiaraat, pada halaman pertama, menuliskan sebuah kisah seorang abnaulkhairaat, Darmawan Mahdjura berdakwah lewat YM. Mahasisway program Magister di Universitas Tromso, Norwegia, Eropa Utara ini, kepada wartawan Media Alkhairaat, Nurdiansyah (Nanang), Jum’at kemarin, ia menuturkan kembali pengalamannya di Negara tersebut, dan pengalaman tersebut menjadi hikmah bagi masyarakat Indonesia, khususnya pula Sulteng. Berikut wawancaranya:


Apa Kabar?

Alhamdulillah semuanya dalam kondisi yang terbaik

Bagaiamana perasaan anda setelah mendaptakan beasiswa ke Norwegia?

Saya menyerahkan seluruh kesyukuran saya hanya kepada Sang Maha Pemberi Rizki yang terbaik kepada siapa yang Dia kehendaki. Saya sangat bahagia karena ini merupakan kesempatan terbaik berikutnya bagi saya untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai anak bangsa, karena tidak semua anak bangsa bisa berasakan nikmat yang sama. Walaupun sempat muncul kekhawatiran akan beberapa implikasi pemberitaan yang menunjukkan adanya sikap diskriminatif dunia barat terhadap Islam yang pengaruhnya bisa dirasakan langsung oleh seorang individu Muslim baik yang tinggal maupun yang berkunjung/melanjutkan studi di luar, seperti yang sering di beritakan oleh media. Selain itu ada kekhawatiran akan culture shock sebagaimana umumnya orang ketika berada pada lingkungan baru.

Bagaimana perasaan anda setelah tiba di Norwegia?

Secara pribadi ada perasaan haru dan kagum atas kebesaran Sang Maha Pencipta karena menyaksikan banyaknya tanda-tanda kebesaran-Nya yang dihamparkan di belahan bumi paling utara ini yang tidak pernah di lihat dan dirasakan di tanah air. Hal yang terlihat dan terasa sangat kontras adalah kondisi cuaca. Tepatnya di kota Tromso, kota dimana saya menumpuh studi skarang yang di gelari ”gate to the arctic”/pintu gerbang ke wilayah kutub. Saat baru menginjakkan kaki di kota ini setalah menempuh perjalanan udara selama 20 jam dari Indonesia, terasa sejuk dan dinginya hembusan angin kutub utara yang sekaligus membuat saya secara spontan menggingil karena tidak tahan rasa dinginya. Saat itu sebenarnya masih “summer” atau musim panas, tapi untuk kota Tromsø suhu musim panasnya kisaran 5 - 15° C , sempat terbayang bagaimana musim dinginnya ya?

Selanjuntnya yang tidak kalah menakjubkan ternyata selama musim panas, periode Mei sampai Juli saya tidak pernah merasakan adanya malam hari (baca: Gelap). Matahari terbenam jam 11 malam dan terbit kembali jam 02.00 Pagi, selang waktunya tidak ada, gelap sama sekali, alhasil 1 x 24 jam selama tiga bulan tanpa malam. Periode ini dinamakan “midnight sunatau matahari tengah malam. Hal sebaliknya terjadi ketika ”winter” atau musim dingin periode November sampai Januari, saya tidak pernah melihat adanya matahari muncul kepermukaan 1 x 24 jam selama bulan tersebut. Periode ini di di namakan ”period of darkness” atau periode kegelapan dengan suhu udara mencapai -15°C. Awalnya sempat bingung dalam penentuan waktu sholat dan arah kiblat, tapi Alhamdulillah ada Al-Nor Tromso Islamic Center yang menjadi rujukan saya.

Disamping perasaan takjub atas segala bebesaran Allah diatas, terbesik rasa gamang dalam hati, sanggupkah saya bertahan dalm kondisi cuaca yang sangat extrim ini dan juga hidup dengan budaya dan gaya hidup yang benar-benar ”rusak”, jauh dari orang orang yang selalu menasehati setiap saat, jauh dari keluarga; istri dan anak?

Apa kesulitan yang anda rasakan setelah tiba di norwegia?

Saya kira umum bagi yang baru manginjakkan kakinya di negeri orang. Kesulitan yang saya rasakan adalah penyesuaian makanan, pola tidur sampai pada budaya dan gaya hidup. Budaya timur dan barat yang sangat kontras menjadi tantangan tersendiri bagi saya secara pribadi. Apalagi di kaitkan dengan budaya dan gaya hudup yang Islami, sungguh sangat jauh dari nilainya yang mulia. Saya berfikir inilah jihad sebenarnya yang ril saya hadapi selama 2 tahun nantinya di Eropa.

Apa kesulitan anda selama kuliah (belajar) di sana?

Ada hal yang terasa sangat berbeda dari sisi pengajaran dan pembelajaran di sini dibandingkan dengan di tanah air dengan tidak menyepelehkan nilai ketimuran kita, yakni semangat membaca dan menulis mereka. Kalau menurut sahabat saya di Universitas Gajah Mada, selama satu semster mereka di bebani membaca dan menelaah satu buku stebal 200 halamn berbahasa Inggris, di tempat saya belajar sekarang, selama semester pertama mahasiswa di suruh menghabisakan bacaan sebenyak 2000-2500 halaman. Alhasil banyak waktu kita di habiskan membaca. Hal ini tentu saja menjadi kesulitan utama saya dalam belajar sekaligus menjadi tantangan dan bahan pembelajaran yang cukup bagus bagi peningkatan kualitas akademik saya secar pribadi. Dan sayapun berfikir kenapa hal in tidak kita massifkan dalam proses pembinaan remaja dan anak-anak kita di rumah dan disekolah dengan merangsang dan menumbuhkan semangat dan minat baca ke mereka sejak dini.

Bagaimana perasaan anda di sana mengingat keluarga yang di Indonesia?

Sedih dan rindu adalah gabungan perasaan yang sangat susah untuk di gambarkan dengan kata-kata. Saya harus meninggalkan Istri dan 2 orang buah hati demi tugas ini, bukan karena unsur kesengajaan tapi lebih ke masalah administratif.

Sering kontak dengan keluarga tidak?

Alhamdulillah sampai saat ini saya terus menghubungi mereka setiap harinya bahkan tak jarang sampai 3 kali sehari menelpon mereka. Masalah biaya nelpon saya harus menghabiskan 30-40 Euro setiap bulannya.

Apa pesan dari keluarga?

Keluarga besar semuanya mengharapkan yang terbaik dari hasil studi dan bisa kembali secepatnya untuk melakukan proyek peradaban yang lebih besar lagi di Indonesia dan kota Palu secara khusus.

Anda memperbaiki diri dengan chating. Lantas bagaimana kalau lagi tidak mood chat?

Seperti apa yang pernah saya ungkapkan sebelumnya di Media Alkhairaat melalui e-mail, bahwa sarana chatting (baca: Yahoo Mesengger) bagi saya dan masyarakat muslim indonesia di sini dijadikan selain sebagai sarana menyambung silaturrahim sesama WNI juga yang paling fenomenal adalah di jadikan sebagai sarana Dakwah. Kami melakukannya setiap pekannya dengan menghadirkan Ustadz pembicara baik dari Indonesia maupun dari Mesir langsung secara online. Jadi Ustadznya berbicara di Indonesia atau di Mesir, pendengarnya bisa di se entero Eropa mulai Norwegia, Swedia, Jerman, Inggris, Bosnia, Swiss, dll. Sesekali kami melakukan pertemuan dan pengajian darat bersama masyarakat Muslim di Eropa.

Sementara untuk kondisi-kondisi tertentu bertepatan dengan absennya kegiatan pengajian, kegiatan rutinnya adalah menghabiskan tugas bacaan yang bertumpuk.

Bagaimana komentar teman-teman (wna) dengan gaya hidup anda?

Teman-teman sekelas mayoritas non-Muslim (baca:Kristen) hanya saya berdua dangan mahasiswa dari Negara bagian Afrika, Uganda, yang Muslim. Mereka semuanya respect dan menaruh simpati terahadap gaya hidup saya, karena sejak pertama saya sudah memperkenalkan diri sebagai Muslim. Terlebih lagi ketika ada hal-hal yang sangat kontars mereka lihat, mereka pasti menanyakan ke saya, seperti, kenapa saya memelihara jenggot, dan lain lain. Saya pun sering terlibat diskusi dengan mereka untuk saling tukar informasi mengenai hal-hal fundamental yang membedakan antara Kristen dan Islam, tak jarang muncul dari mulut mereka kata-kata ”good to know Islam from you”, saya pun berdoa mudah-mudahan Allah akan memberi petunjuk kepada mereka untuk mampu memahami dan bahkan memeluk Islam suatu saat.

Kasus yang sering saya hadapi adalah benturan waktu sholat Jum’at dengan perkuliahan, saya pun dengan jujur mengatakan pada dosen yang mengajar hari itu untuk tidak bisa hadir karena harus ke masjid untuk melakukan ”weekly prayer” mereka dengan spontan merespon dangan kata kata ”no problem, that’s good”. Bahkan pernah jadwal perkuliahan harus diliburkan dan dipindahkan ke hari lain karena bertepatan dengan hari raya Idul Fithri.

Anda tetap Istiqomah?

Saya rasa menjawab pertanyaan ini sangat subjektif untuk mengatakan saya istiqomah atau tidak. Yang terpenting bagi saya adalah selama nilai-nilai tarbiyah Islamiyah yang kita dapati dan pelajari selama ini terinternalisasi dengan baik dalam diri seorang muslim saya kira tidak masalah baginya untuk hidup di belahan bumi bagian mana pun. Seperti ikan yang mampu yang tetap segar dan bertahan dalam kondisi laut yang sangat asin sekalipun. Secara pribadi Alhamdulillah saya tetap berusaha komitmen untuk melakukan waajibaat yaumiyyan atau kewajiban harian yang bisa membentengi diri dan bisa menjaga stabilitas ruhiyah dalam kondisi yang sangat memungkinkan untuk bisa fluktuatif, seperti tilawah Al-Qur’an minimal setengah juz perhari, kalau target tidak bisa di selesaikan di apartemen sering kali Mushaf Al-Qur’an selalu menemani ke kampus, sholat dhuha, puasa Senin Kamis, qiyamullail minimal 1 kali sepekan, berusaha tetap menjaga wudhu setiap saat, dan tak kalah penting ada hiburan yang selalu menemani kemanapun saya pergi, yakni MP3 Player yang selalu mendengungkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu saya berusaha memaksimalkan diri untuk hadir setiap Ba’da Isya di Tromsø Islamic Center untuk ikut kajian keislaman walaupun harus menggunakan transportasi bus karena lokasinya cukup jauh dari apartemen tempat saya tinggal. Dan dengan izin dan kekuatan dari Allah semuanya bisa di jalani dengan mudah.

Apa yang bisa dipelajari umat Islam dengan budaya orang Norwegia?

Di samping budaya masyarakat dan secara khusus moral para pemuda dan remajanya yang sedemikian jauh dari nilai Islam, setidaknya ada dua pelajaran berharga yang bisa saya ambil dari selama tujuh bulan bersama dengan masyarakat Norwegia, Pertama, budaya malu mereka yang tinggi dan sering tertutup, yang tentunya secara jujur sebagian masyarakat Islam di Indonesia budaya malu telah menjadi hal yang langka. Dua, budaya perdamaian, dari indeks negara teraman di dunia, Norwegai menempati urutan teratas. Praktisnya dalam setiap menyelesaikan persoalan mereka lebih mendahulukan dialog dan empati, selama tujuh bulan di Norwegia saya tidak pernah melihat sekalipun ada perkelahian terjadi baik itu di jalanan atau di kampus. Kecuali demonstrasi yang menentang kebiadaban Israel beberapa waktu lalu, itupun yang melakukan masyarakat Imigran.

Apa yang membuat anda sangat bersedih kalau membedakan sesuatu (yang baik) dari masyarakat Norwegia, dengn kebiasan buruk warga Indonesia?

Satu catatan penting dari hasil pembelajaran ini yang membuat saya sedih adalah sebagian masyarakat Islam di Indonesia lebih mendahulukan sikap saling menghujat ketimbang saling rangkul, saling menjatuhkan sesama saudara muslimnya ketimbang mendukungnya, masih jauh dari budaya perdamaian apalagi soal budaya disiplin. Inilah realitas masyarakat muslim kita yang tidak hanya terjadi di Indonesia tapi menggejala ke seluruh negara-negara Islam lainnya.

Anda Abnaulkhairaat, jika kembali, apa yang anda ingin berikan kepada Alkhairaat?

Seyogyanya setiap abnaul khairaat dimanapun dia berada, apa pun profesinya, harus selalu menginternalisasi nilai-nilai luhur tarbiyah yang pernah di dapatkannya dari bangku sekolah sejak Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, Aliyah bahkan perguruan tinggi sekalipun. Nilai yang saya maksud adalah, setidaknya mampu menjadi teladan baik bagi orang sekelilingnya. Dan nilai tertinggi dari semua ini adalah mampu terlibat massif dalam penyebaran fiqrah Islam yang syumul melalui dakwah dimanapun dan apapun posisinya di masyarakat dan mampu membawa harum nama baik sebagai Abnaul Khairaat dimanapun mereka berada. Secara pribadi sebagai abnaul khairaat saya banyak berhutang budi dan hutang amanah serta masih merasa belum mampu membalasnya sebagaimana yang Al-kahiraat berikan pada saya, tapi Insya Allah, Habib Idrus Bin Salim Aljufri, sebagai sosok Guru Tua yang telah menorehkan sejarah berkembangnya Islam di Indonesia Timur dan menjadi inspirasi bagi jalan dakwah yang saya geluti saat ini serta semua Ustadz yang pernah mengajar saya akan memperoleh amal jariyah atas semua amal kebaikan dan amal dakwah yang saya lakukan saat ini dan akan datang. Dan tidak ada balasan yang lebih pantas bagi mereka semua kecuali ”JANNAH-NYA ALLAH” Insya Allah., wa Jazaakumullahu Ahsanul Jazaa.

Kamis, 12 Februari 2009

Tamu Rakernas Alkhairaat Disambut Upacara Adat


TERNATE - Pada saat Presiden RI dan Menteri, serta Gubernur Mauku Utara akan menginjakkan kakinya di Bumi Seki, bekas Pemerintahan Bacan, maka Presiden dan rombongan akan disambut dengan upacara Joko Kaha (menginjak tanah). Ini merupakan adat istiadat Kesultanan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan).
Panitia Seksi Acara Rakernas Alkhairaat, Daud Djubedi, melaporkan kepada saya, Kamis (12/2), dari Labuha, Bacan, Halmahera Selatan mengatakan, upacara ini sebagai simbol penghormatan dari Kesultanan Moloku Kie Raha, kepada tamu agung yang baru saja menginjakkan kakinya di Maluku Utara. Sementara itu, untuk menyambut tamu agung maka akan dihibur pula oleh Tari Cakalele (tari mengantar pasukan ke medan perang), dan Tari Soya Soya (tarian menyambut pasukan yang kembali dari medan perang).
Menurut keterangan, Cakalele merupakan tarian Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua.
Di kedua tangan penari menggenggam senjata parang (pedang) di sisi kanan dan salawaku (tameng) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam lenso (sapu tangan) di kedua tangannya.
Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik tifa (beduk khas Maluku Utara), suling, dan bia (kerang besar) yang ditiup. Tari Cakalele disebut juga dengan tari kebesaran, karena digunakan untuk penyambutan para tamu agung seperti tokoh agama dan pejabat pemerintah yang berkunjung ke bumi Maluku.
Keistimewaan tarian Cakalele ini terletak pada tiga fungsi simbolnya. Pertama, Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Moloku Kie Raha, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang.
Kedua, pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Dan ketiga, salawaku dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat.
Kemudian adapula tari Soya Soya. Tari ini yang terinspirasi dari peristiwa penyerangan pasukan Ternate saat mengambil jenazah Sultan Khairun, yang telah dibunuh secara keji oleh tentara Portugis di Benteng Kastela, Ternate Selatan. Namun, pada saat ini tari ini digunakan untuk menyambut tamu agung.
Selain itu, Presiden dan rombongan akan dihibur oleh para penari tari Sogal dan tari Dendang. “Tari ini merupakan tarian tradisional Maluku untuk menghibur Tamu Agung maupun masyarakat,” kata Daud.
Sementara itu, pada tarian-tarian itu, juga akan diiringi pula oleh 150 penari Rebana. Tari ini sebagai simbol kentalnya perpaduan Islam dalam kebudayaan Maluku Utara. Dalam acara ini akan didukung pula oleh Marching Band, Pemerintah Provinsi Malut. “Tari-tarian itu akan dilakukan pada saat Permulaan acara maupun puncak acara,” kata Daud lagi. (nanang)

Jumat, 06 Februari 2009

Penderita Malnutrisi Alias Gizi Buruk

Gapai Tenaga, Meraih Hidup Indah


PALU – Matanya kosong. Tangan kurusnya meraih kain seprey, berusaha menggenggam, namun usahanya sungguh baginya melelahkan, karena tenaganya hampir seimbang dengan kekuatan kain. Lain lagi dengan kondisi tubuhnya, kulit membalut tulangnya yang hampir tak bisa ia teggagkan, walaupun itu hanya duduk. Itulah kondisi Ronald, warga Desa Ngatabaru, Kabupaten Sigi, yang sejak sepekan hingga Rabu (4/2), dirawat di rumah sakit Undata Palu.


Menurut Dawalia (36) ibu kandung Ronald, gejala gizi buruk yang dialami anak bungsunya itu ketika berusia empat tahun. Gelisah mengetahui derita anaknya itu muncul saat berat Ronald tidak sesuai dengan berat anak seusianya. Padahal kata ibu tiga orang anak itu, semua kebutuhan gizi dan imunisasi ketika Ronald masih bayi di bawah lima tahun (Balita), selalu dipenuhinya.


“Waktu dia masih balita, dari makan sampai imunisasinya saya perhatikan. Bahkan imunisasinya lengkap semua, cuma Ronald tidak suka minum susu,”tuturnya dengan mata yang berkaca-kaca.


Kata Dawalia, Ronald yang berusia sembilan tahun itu, mestinya saat ini beratnya sudah belasan kilogram, namun akibat gizi buruk yang dialaminya, beratnya hanya mencapai delapan kilogram.“Saya sebenarnya agak malu, saya seorang kader Posyandu yang bertugas melakukan penyuluhan tentang gizi, tapi anak saya sendiri mengalami gizi buruk,”katanya menyesali diri, sedih.


Sementara itu, di bangsal rumah sakit yang sama, Baim Mahendra yang juga mengalami gizi buruk, Rabu (4/2) kemarin, terlihat mulai membaik. Selang infus yang menempel dilengannya sudah dilepas, setelah dokter di rumah sakit itu menyatakan kondisinya sudah mulai membaik.


“Baim sudah mulai membaik, dia sudah bisa makan. Jadi infusnya dilepas,”kata Ramlah, ibu kandung Baim, asal Kelurahan Kayumalue, Kecamatan Palu Utara itu.


Masalah gizi buruk masih dialami oleh anak-anak di berbagai tempat di Indonesia dari tahun ke tahun. Ini menjadi potret buruk pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia. Itulah dilema yang dirasakan oleh dua dari penderita Gizi Buruk Alias Malnutrisi. Yang dari mereka terlintas harapan, ingin menggapai cita-cita mempunyai tenaga, walaupub tak sekuat mungkin. Dan hati kecil mereka juga ada asa akan indahnya hidup.(Nanang/Achun-Foto: Achun)

I


TERIMAKASIH TELAH MEMBACA BLOG SAYA